Sabtu, 04 Mei 2013

Minum disela makan ganggu pencernaan


Minum Di Sela Makan Picu Gangguan Pencernaan
Apakah Anda termasuk orang yang terbiasa minum di sela-sela makan? Jika iya, sebaiknya Anda segera mengubah kebiasaan tersebut. Seorang pakar diet di India mengungkap bahwa kebiasaan minum di sela-sela makan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan.
Shonali Sabherwal seorang pakar diet dari India mengatakan, “Banyak orang menganggap bahwa dengan minum air di sela-sela makan dapat menurunkan makanan lebih cepat. Padahal cara ini dapat mengakibatkan gangguan pencernaan yang beragam,” terang Sabherwal seperti dilansir timesofindia.
Lebih jauh Sabherwal menjelaskan bahwa minuman yang dikonsumsi di sela-sela makan akan diserap dinding usus lambung. Penyerapan ini akan terus berlanjut hingga hormon-hormon pencernaan mulai dilepaskan untuk mencerna makanan.
Jika hormon tersebut tercampur dengan air maka konsentrasinya akan menjadi lebih rendah daripada makanan yang ada di dalam perut. Inilah yang mengakibatkan makanan tidak tercerna dengan baik dan sempurna. Dalam tingkat lanjut kondisi ini dapat mengakibatkan heartburn dan refluks asam lambung.
Selain itu, kebiasaan ini juga dapat memicu lonjakan kadar insulin dalam tubuh, sama halnya pengaruh yang didapatkan setelah mengonsumsi makanan ber-indeks glikemik tinggi. Ini berarti Anda memperbesar risiko penumpukan lemak dan penyakit diabetes.
Untuk mengatasi kebiasaan ini, Sabherwal menyarankan agar mengonsumsi makanan yang rendah garam. Makanan yang terlalu asin dapat meningkatkan rasa haus dan merangsang Anda untuk terus minum saat makan.
Mengunyah makanan lebih lama juga bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi risiko gangguan pencernaan yang diakibatkan kebiasaan minum di sela-sela makan.

Ujian Akhir Nasional


DPR Belum Setujui Ujian Akhir Nasional

Dewan Perwakilan Rakyat hingga saat ini belum menyetujui rencana penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sebab, kata Wakil Ketua Komisi X DPR Is Anwar Datuk Rajo Perak, sebelumnya Menteri Pendidikan telah menyepakati tidak ada penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional.
"Namun belakangan entah dapat bisikan dari mana menteri bersikeras menyelenggarakan UAN dengan nama lain," kata Anwar dihubungi Tempo melalui telepon, Minggu (30/1). Menurut dia, DPR menolak karena banyak diprotes oleh masyarakat, termasuk dunia pendidikan. Dia menambahkan, DPR juga memperoleh informasi bahwa UAN ini menjadi sumber penyelewengan oleh oknum tertentu. Padahal penyelenggaraannya memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Namun, kata Anwar, DPR belum memvonis bahwa penyelenggaraan kegiatan UAN tidak baik. Kami masih memerlukan informasi yang sebenar-benarnya tentang masalah UAN. Apakah bermanfaat atau tidak. Kami akan dudukkan persoalan ini," tambahnya.
Selain itu, lanjutnya, sejak menteri menyepakati tidak ada UAN maka anggarannya juga tidak tersedia."Tetapi kalau Menteri Pendidikan bersikeras menyelenggarakan, ya kami juga mau lihat dari mana danannya," katanya.

Kilas Balik Ujian Akhir Nasional
Keputusan pemerintah menghapuskan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) kemudian menggantinya dengan UAN (Ujian Akhir Nasional) mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan.
Pemerintah sendiri khususnya Departemen Pendidikan Nasional mempunyai alasan tersendiri. Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa jika bangsa ini ingin maju, maka harus mengetahui keadaan yang sesungguhnya atas pendidikan. Apabila selama ini hanya dipoles-poles angkanya, maka bangsa ini tidak akan berkembang maju dengan betul. Kita tidak ingin menyiksa murid, tapi ingin memaksa murid belajar dengan keras,” tuturnya.
Di sisi lain, Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), mempunyai pandangan lain.
Berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan.
Mereka menilai UAN hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, UAN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik. Padahal, menurut pasal 57 UU Sisdiknas, mutu pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program pendidikan.
Mereka juga menilai bahwa UAN mengabaikan muatan kurikulum yang menganut prinsip kemajemukan potensi daerah dan peserta didik. Sebab menurut pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan menggunakan prinsip kemajemukan (diversifikasi) potensi daerah dan potensi peserta didik. UAN juga telah merampas kewenangan pendidik/guru dan sekolah untuk melakukan evaluasi hasil belajar dan menentukan kelulusan peserta didik. Menurut pasal 58 ayat 1 dan pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/guru dan satuan pendidikan/sekolah
Terlepas dari pro dan kontra seputar UAN (Ujian Akhir Nasional) yang tahun 2005 ini berubah nama menjadi UN (Ujian Nasional), pemerintah tetap teguh pada kebijakannya untuk memberlakukan Ujian Nasional di tahun-tahun mendatang. Berikut ini, informasi singkat sejak UAN mulai diberlakukan dan rencana pemerintah di tahun 2006 mendatang.

UAN 2003
Pada awal April 2003, pemerintah menetapkan kebijakan baru tentang Ujian Akhir Nasional (UAN). Siswa SMP dan SMA atau sekolah sederajat peserta UAN 2003 yang memiliki nilai ujian kurang dari tiga dinyatakan tidak lulus. Ketentuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah,” demikian kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdiknas Indra Djati Sidi di tengah-tengah maraknya pro dan kontra berkaitan dengan UAN ini.
Pada tahun-tahun sebelumnya, ujian yang diselenggarakan dinamakan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Siswa dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam EBTANAS adalah enam, meski terdapat satu atau beberapa mata pelajaran bernilai di bawah tiga. Namun, mulai 2003, siswa kelas 3 SMP dan 3 SMA harus belajar lebih keras agar nilai murni UAN tidak kurang dari angka tiga karena soal Ujian Akhir Nasional dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak bisa mengatrol nilai UAN.
Para siswa yang tidak lulus UAN masih diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulangan UAN selang satu minggu sesudahnya. Jika dalam ujian ulangan UAN siswa tetap memiliki nilai kurang dari angka tiga, maka dengan terpaksa mereka dinyatakan tidak lulus atau hanya dinyatakan tamat sekolah.
Hal ini bisa dilihat dari fakta di lapangan. Tiga persen (828 siswa) dari 26.252 siswa SMA/MA di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dinyatakan tidak lulus. Sedangkan untuk jenjang SMP/MTs, 1.700 siswa (sekitar 3,7 persen) dari total peserta Ujian Akhir Nasional sebanyak 46.475 siswa, dinyatakan tidak lulus.
Pada jenjang Sekolah Dasar, pro kontra seputar ujian nasional memang tidak terlalu ramai dibicarakan karena untuk siswa SD tidak ada UAN tetapi digantikan dengan Ujian Akhir Sekolah (UAS). Meski demikian, pada saat itu muncul anggapan bahwa nilai antar sekolah tidaklah standar sehingga untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu ke SMP harus melalui tes seleksi.

UAN 2004
Dalam rangka untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan nasional, pada tahun 2004 Departemen Pendidikan Nasional kembali menaikkan standar kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01.
Sebenarnya angka nilai minimal 4,01 ini terbilang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju yang mempunyai batas minimal nilai enam. Depdiknas juga mengeluarkan keputusanberanidengan ditiadakannya Ujian Ulang UAN bagi siswa yang tidak mencapai batas minimal kelulusan. Artinya, bagi siswa yang gagal meraih angka lebih dari 4,01 maka siswa yang bersangkutan harus mengulang tahun depan atau dinyatakan tidak lulus.
Namun, pada detik-detik terakhir menjelang berlangsungnya Ujian Akhir Nasional, kebijakan tidak ada UAN ulang itu dibatalkan, setelah mendapat masukan dari beberapa lapisan masyarakat. Tingkat ketidaklulusan pada tahun 2004 yang diperkirakan akan meningkat ternyata tidak sepenuhnya terbukti. Walaupun terjadi peningkatan ketidaklulusan namun angka-nya tidak signifikan. Beberapa peristiwa berkaitan dengan Ujian Akhir Nasional 2004 adalah kontroversi tentang Konversi Nilai UAN yang dianggap merugikan siswa-siswa yang pandai dan lebih menguntungkan siswa yang kurang pandai.

UN 2005
Depdiknas kembali menaikkan standar kelulusan dari 4,01 menjadi 4,25 dan merubah nama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi Ujian Nasional (UN). Yang membedakan UN 2005 dengan UAN adalah janji Mendiknas yang tidak akan mengulang kembali skandal konversi nilai seperti kejadian tahun lalu.
Ujian Nasional 2005 untuk tingkat SMA/MA dan SMK diadakan pada tanggal 30 Mei sampai dengan 1 Juni 2005, sedangkan tingkat SMP/MTs diadakan pada tanggal 6 Juni sampai dengan 8 Juni 2005.
Secara nasional nilai rata-rata hasil Ujian Nasional tahun pelajaran 2004/2005 meng-alami kenaikan signifikan dibandingkan hasil Ujian Nasional tahun pelajaran 2003/2004.
Berkaitan dengan hasil Ujian Nasional tersebut, Depdiknas memberikan kesempatan kepada Peserta didik yang belum lulus Ujian Nasional tahap pertama, mengikuti Ujian Nasional tahap kedua hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus. Ujian Nasional tahap kedua diadakan pada 22, 23, dan 24 Agustus 2005 untuk SMA/MA/SMK/SMALB, SMP/MTs/SMPLB. Selain itu, Depdiknas mengeluarkan edaran kepada perguruan tinggi dan SMA/MA/SMK bahwa mereka dapat melakukanpenerimaan bersyaratbagi siswa yang belum lulus UN.